Sabtu, 28 Agustus 2010

Menjadi GURU KREATIF

Membaca Kompas, Senin 20 April 2009 dengan judul “Susahnya Jadi Guru Kreatif” yang ditulis oleh rekan sejawat, T Gunawan Wibowo membuat saya tersulut untuk menjadi guru kreatif. Guru yang tidak hanya mengandalkan kurikulum yang ada, tetapi mampu menciptakan sebuah kurikulum yang ideal untuk kondisi dan lingkungan sekolah. Semua itu dilakukan oleh guru kreatif dengan membuat karya tulis ilmiah yang bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Untuk menjadi guru yang kreatif memang tidak mudah. Saya merasakan sendiri betapa sulitnya menjadi guru kreatif. Saya harus dapat meninggalkan posisi nyaman saya. Meninggalkan yang tidak penting dan mendahulukan yang penting. Mengatur jadwal penelitian dengan cermat dan dilakukan sambil mengajar. Berani tidak populis diantara teman sejawat karena pemikiran saya yang rada sedikit beda dari kebiasaan guru pada umumnya.
Guru kreatif adalah guru yang selalu memandang bahwa keragaman siswa adalah sebuah potensi besar yang harus dikembangkan di sekolah sedangkan guru yang kurang kreatif adalah guru yang selalu mengedepankan keseragaman siswa. Tak boleh ada yang berbeda. Semua harus sama, dan kalau perlu membuat Rencana Program Pembelajaran (RPP) pun ‘copy and paste’(copas) seperti apa yang terjadi sekarang ini.
Guru kreatif selalu resah dan gelisah dengan strategi pembelajarannya, dan selalu memperbaiki dirinya dengan berbagai penelitian tindakan kelas. Mencoba mencari metode-metode baru dalam pembelajaran sehingga hasilnya sangat bermanfaat untuk guru lainnya. Guru kreatif adalah guru dimana dirinya sadar akan kekurangan diri dan memotivasi dirinya sendiri untuk belajar sepanjang hayat. Tak peduli orang mau bilang apa, yang penting bagi dirinya adalah bersekutu dengan ilmu pengetahuan demi kemajuan dunia pendidikan.
Guru kreatif seperti itu masih langka dalam dunia pendidikan kita. Lihatlah data dan realitas di lapangan begitu banyaknya guru di lingkungan depdiknas yang tak mampu naik pangkat karena tak sanggup membuat karya tulis ilmiah. Hal ini disebabkan karena guru terbiasa dengan keseragaman  pemikiran sehingga untuk membuat sesuatu yang berbeda diperlukan sebuah perjuangan keras dimana para guru harus mampu melawan dirinya sendiri.
Untuk menjadi guru yang kreatif dalam membuat karya tulis ilmah diperlukan sebuah perencanaan pembelajaran yang matang, tindakan pembelajaran yang menantang, proses pengamatan yang cemerlang, dan refleksi diri dengan teman sejawat bahwa pembelajaran telah membuahkan keberhasilan. Semua kegiatan itu dicatat prosesnya, dan  terangkum dalam penelitian tindakan kelas (PTK) yang membuat guru akhirnya mampu membuat sebuah karya tulis ilmiah. Lalu mengapa banyak guru yang malas dalam membuat karya tulis ilmiah? Kenapa para  guru seolah takut melakukannya?
Kalau kita lihat kenyataan sekarang ini, banyak kita jumpai para guru yang belum melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya. Sehingga wajar saja bila belum banyak guru yang sanggup membuat karya tulisnya sendiri. Mengapa? Karena setelah saya amati dan telusuri ada 5 alasan kenapa guru takut melakukan PTK dan malas membuat karya tulis ilmiah. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut:
1.Guru kurang memahami profesi guru
Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Para guru hendaknya menyadari profesi mulia ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsi guru di sekolah. Guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmunya dengan baik, tetapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberikan tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan tapi juga tindakan.
Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia dimata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya ( Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar).
2. Guru malas membaca buku dan malas menulis
Masih banyak guru yang malas membaca buku. Padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan yang luas dari para guru. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus dapat melawan kebiasaan malas membaca. Ingatlah dengan membaca kita dapat membuka jendela dunia.
Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.
Sudah bisa dipastikan bila guru malas membaca, maka akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca seperti kepingan uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis. Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri.
Menulis itu ibarat pisau yang harus sering diasah. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
3. Guru kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak dalam rutinitas kerja
Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Terjaga dari sesuatu yang kurang bermanfaat.
Saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seorang guru terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik. Guru yang sukses dalam hidupnya adalah yang pandai memanage waktu dengan baik. Waktunya benar-benar sangat berharga dan berkualitas. Setiap waktunya terprogram dengan baik.
Guru harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru terjebak sendiri dengan rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan dia menjadi guru yang dapat diteladani anak didiknya. Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya : membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, di dalam blog internet, facebook, friendster, my space, dan lain-lain.
Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru yang kurang berkualitas. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar saja. Dia tidak mendidik anak didiknya dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas sebagai tugas rutin mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya melakukan transfer of knowledge. Dia mengganggap pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha keras agar yang dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak ada upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan. Bahkan sampai saatnya memasuki usia pensiun.
4.Guru kurang kreatif dan inovatif serta malas meneliti
Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam proses pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy paste tanggal dan tahun saja. Guru menjadi tidak kreatif.
Guru tidak akan pernah menemukan proses kreativitas bila cara-cara yang digunakan dalam mengajar adalah cara-cara lama. Sekarang ini, sulit sekali mencari guru yang kreatif dan inovatif. Kalaupun ada jumlahnya hanya dapat dihitung dengan dua jari. Guru sekarang lebih mengedepankan penghasilan daripada proses pembelajaran yang kreatif. Benarkah? Silahkan anda melihat sendiri kenyataan di masyarakat!
Setiap tahun pemerintah maupun swasta mengadakan lomba karya tulis ilmiah (LKTI) untuk para guru, dengan harapan guru mau meneliti. Namun, hanya sedikit sekali guru yang memanfaatkan peluang ini dengan baik. Padahal ini sangat baik untuk guru berlatih menulis, dan menyulut guru untuk meneliti. Dari meneliti itulah guru mengetahui kualitas pembelajarannya.
Penelitian diselenggarakan untuk memperbaiki hal-hal yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang baru. Sebenarnya meneliti itu tidak sulit. Kesulitan itu sebenarnya berasal dari guru itu sendiri. Guru menganggap meneliti itu adalah bukan tugasnya. Tugas guru hanya mengajar. Meneliti adalah tugas mereka yang ingin naik pangkat. Kalau sudah kepepet barulah guru mau meneliti. Misalnya kalau ingin naik pangkat dari golongan IVA ke IVB. Kalau tidak, maka pangkatnya tidak akan naik. Data di depdiknas membuktikan bahwa guru golongan IVA terlalu banyak, dan guru golongan IVB masih sangat sedikit. Banyak guru yang mengalami kesulitan dalam meneliti dan melaporkan hasil penelitiannya.
5.Guru kurang memahami PTK
Banyak guru yang kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal PTK itu tidak sesulit apa yang dibayangkan. PTK dilakukan dari keseharian kita mengajar. Tidak ada yang sulit, semua dilakukan dengan mudah sebagaimana keseharian kita mengajar di kelas. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya. Mencatat masalah-masalah yang timbul, dan mencoba mencari solusinya. Ajaklah teman sejawat agar proses observasi dan refleksinya tidak terlalu subyektif.
PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Dari PTK inilah diharapkan terjadi proses pembelajaran yang kreatif.
Melalui PTK akan tercipta karya tulis guru. Begitu banyak kiat-kiat menulis karya tulis ilmiah. Baik tercetak dalam buku maupun kita dapatkan cuma-cuma dari internet. Intinya adalah guru harus dapat melaksanakan 5M dalam kesehariannya, yaitu melihat, membaca, menulis, meneliti, dan melaporkan. Hanya sayangnya, tak semua guru mampu mengaplikasikannya dalam pembelajaran sehari-hari. Sehingga yang terjadi lagi-lagi keseragaman pemikiran dan keengganan untuk melakukan 5M membuat guru terjebak dalam rutinitas kerja yang berkepanjangan. Buntutnya adalah membuat guru menjadi tidak kreatif dalam membuat karya tulis ilmiah.
Banyak manfaat yang bisa diperoleh bila guru mampu membuat karya tulis ilmiah, di antaranya:
  1. Menumbuhkan kebiasaan menulis
  2. Memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya
  3. Berpikir analitis dan ilmiah
  4. Menambah khasanah ilmu pendidikan
  5. Menumbuhkan semangat guru lain
  6. Mengembangkan pembelajaran yang kreatif
  7. Meningkatkan mutu sekolah
  8. Menjadi guru profesional di bidangnya.
Peran guru dan sekolah bagi anak didik bersifat unik. Unik karena mereka tidak bisa menggeneralisasi kebutuhan anak didik dalam cara, bentuk, dan ukuran yang sama. Idealnya sebuah sekolah, menurut Stoll (1996), mampu memberikan pelayanan optimal kepada anak didiknya. Ia juga diharapkan dapat menjamin bahwa setiap peserta didik mampu mencapai standar optimal yang bisa mereka raih.
Perkembangan teknologi informasi, perubahan struktur masyarakat, dan maju pesatnya pengetahuan, serta munculnya teori pembelajaran baru telah mengubah hal yang esensi dari tugas pokok seorang guru. Guru bukan lagi “aktor” di kelas, dengan kekuasaannya dan pengetahuannya, yang mengatur apa pun yang terjadi di kelas. Guru bukan lagi “sumur kang lumaku tinimba”, sumber dan mata air satu-satunya dalam pembelajaran di kelas. Sekarang, justru siswa yang menjadi pusat pembelajaran. Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator, yang hanya bisa memerintah anak didiknya melakukan ini atau itu. Ia juga lebih menjadi motivator dan bukan eksekutor.
Setiap anak memiliki beragam kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia menggunakan dari yang visual, audio, sampai kinestetik. Gardner juga mengingatkan adanya multikecerdasan pada setiap anak mulai bersifat logis-matematis, linguistik, musik, sampai intrapersonal.
Kita mengetahui pula taksonomi Bloom, dengan enam fase akusisi pengetahuannya. Kohlberg dengan tahapan perkembangan moralnya. Perkembangan usia pada diri anak sejak usia taman bermain sampai dewasa ternyata memiliki karakteristik perkembangan sosial, moral, emosional, dan kognitif yang harus disadari guru.
Semua itu tentu saja menuntut sebuah peran baru, unik, tetapi juga tidak “gampang” dari seorang guru. Ia mengandaikan seorang guru yang “khas”, guru memahami konteks luas itu, terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan pada diri tiap anak. Peran itu tidak akan mungkin dijalankan seorang guru ketika mereka sendiri tidak mau menyiapkan diri, belajar terus-menerus, dan mengembangkan diri ke arah tersebut. Seorang guru, dengan peran yang berbeda dibandingkan masa lampau, tetaplah ia memiliki pengaruh yang demikian besar bagi anak didik.
Guru adalah seorang pembelajar. Sebagai pembelajar, guru memiliki karakteristik belajar yang berbeda dibandingkan seorang anak. Ia adalah pembelajar yang dewasa (adult learner). Karakteristik belajarnya bersifat khas, misalnya, seorang guru mempunyai cara belajar mandiri, mereka senantiasa memanfaatkan atau mengaitkan dengan pengetahuan atau pemahaman yang mereka miliki sebelumnya.
Mereka belajar secara kontekstual, senantiasa harus menemukan kaitan yang dipelajari dengan situasi nyata dalam hidupnya. Model pembelajaran sifatnya pemecahan masalah (problem solving) lebih menarik dibandingkan yang teoretikal sifatnya. Seorang guru selalu fokus dengan tujuan (goal) daripada sekadar rutinitas yang tidak jelas arahnya. Ia lebih tergerak oleh pendekatan atau cara pengajaran daripada sekadar isi yang diajarkan. Ia lebih tersentuh ketika disapa secara pribadi dan dihargai. Ia ingin kemanusiaan, kedewasaan, dan pengalamannya disentuh dan diperhatikan.
Suasana interaktif, berbagi pengalaman, dan apresiasi yang sifatnya positif akan lebih membuat mereka termotivasi dan lebih terbuka pada hal yang baru.
Guru kreatif terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa.
Sumber:
Kompas, 20 April 2009. Susahnya Menjadi Guru Kreatif, T. Gunawan Wibowo
Buku Mengenal PTK karya Wijaya Kusumah & Dedi Dwitagama, 2009
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/07/menjadi-guru-kreatif/

1 komentar:

  1. Bener banget tu...sekarang guru dapet sertifikasi malah seenaknya sendiri...berangkat siang pulang gasik...ga da perubahan buat dunia pendidikan..uang sertifikasi malah buat naik haji, buat beli mobil, rumah dll yang ga nyangkut masalah pendidikan....harusnya pemerintah lebih objektif lg....

    BalasHapus